Senin, Oktober 20

VEGETARIAN JEPANG

Seminar Masyarakat Vegetarian di Osaka. Artikel ini ditulis oleh Dr. Mitsuru Kakimoto (kanan)
Sebuah survey yang saya lakukan yang diikuti oleh 80 orang masyarakat barat, termasuk dari Amerika, Inggris dan Kanada, menunjukkan bahwa kurang lebih setengah dari mereka mengira bahwa vegetarianisme berawal dari India. Beberapa responden -- 8% dalam setiap kasus -- mengira vegetarianisme berasal dari Jepang atau Cina. Tampaknya alasan mereka menghubungkan vegetarianisme dengan Jepang atau Cina adalah Agama Budha. Tidak mengherankan, karena memang kita bisa mengatakan bahwa Jepang dulu merupakan negara dimana vegetarianisme berkembang pesat.

Gishi-wajin-den, sebuah buku sejarah tentang Jepang yang ditulis di Cina sekitar tahun 3 abad S.M. mengatakan bahwa "tidak ada ternak, kuda, macan, leopard, kambing, maupun burung gagak di tanah tersebut. Iklimnya sedang dan masyarakat disana makan sayuran segar baik pada musim panas maupun musim dingin." Dikatakan juga bahwa "masyarakat menangkap ikan dan udang-udangan". Tampaknya, orang Jepang kuno memakan sayuran segar dengan nasi dan biji-bijian lainnya sebagai makanan pokok. Mereka juga makan sejumlah ikan dan udang-udangan, tetapi hanya sedikit daging.



Beberapa ratus tahun kemudian, Agama Budha sampai di Jepang dan pelarangan berburu dan memancing mulai diberlakukan terhadap masyarakat Jepang. Tahun 676, Kaisar Jepang saat itu, Tenmu, mengumumkan peraturan yang melarang dimakannya ikan dan udang-udangan serta daging binatang dan unggas. Selanjutnya, pada tahun 737 di periode Nara, Kaisar Seimu memperbolehkan dimakannya ikan dan udang-udangan. Selama duabelas ribu tahun sejak periode Nara hingga masa restorasi Meiji (akhir abad ke 19) masyarakat Jepang menikmati hidangan vegetarian. Mereka biasanya makan nasi sebagai makanan pokok serta kacang-kacangan dan sayuran. Ikan dihidangkan hanya dalam acara-acara atau perayaan khusus. Dalam situasi ini masyarakat Jepang menciptakan suatu hidangan khas Jepang, Shojin Ryori (ryori berarti masakan atau hidangan).
Kata "shojin" adalah terjemahan bahasa Jepang untuk kata "vyria" dalam Sansekerta, yang berarti "untuk memiliki yang baik dan menjauhkan yang jahat". Para pendeta Budha dari sekte Tendai-shu dan Shingon-shu, yang pendirinya belajar di Cina di abad ke 9 sebelum mendirikan sektenya, telah mewariskan praktek masakan vegetarian dari kuil-kuil di Cina yang sesuai dengan ajaran Budha. Di abad ke 13, Dogen, pendiri sekte Soto Zen, memantapkan Shojin Ryori atau hidangan vegetarian Jepang. Dogen mempelajari ajaran Zen di Cina, di masa Dinasti Sung. Ia menetapkan aturan-aturan yang bertujuan untuk memantapkan cara makan hidup vegetarian murni sebagai salah satu cara untuk melatih pikiran.
Salah satu pengaruh Zen kepada kebiasaan makan masyarakat Jepang tampak dalam Sado, upacara minum teh Jepang. Dipercayai bahwa Eisai, penemu sekte Rinzai-shu, memperkenalkan teh ke Jepang dan menjadi kebiasaan bagi para pengikut Zen untuk minum teh. Kebiasaan ini terus ada di ajaran Zen dan kemudian mempunyai aturan sistematis Sado. Percaya atau tidak, sebuah Cha-shitsu (ruangan upacara minum teh) dibuat menyerupai Shoin, ruangan pendeta utama dalam kuil Budha. Makanan yang disediakan dalam upacara minum teh disebut Kaiseki, yang arti sebenarnya adalah batu dalam dada. Pendeta yang melakukan pertapaan biasanya menekankan batu panas ke perut mereka untuk menahan lapar. Di kemudian hari kata Kaiseki itu sendiri berubah artinya menjadi makanan ringan dalam Shojin, dan hidangan Kaiseki mempunyai pengaruh besar terhadap kebudayaan makanan Jepang.
Untuk contoh vegetarian Budha di masa modern, saya bisa menyebut Kenji Miyazawa, penulis dan penyair di awal abad 20, yang menulis novel dengan judul "Vegetarian-Taisai". Dalam novel ini ia menceritakan sebuah kongres vegetarian fiksional yang mengingatkan saya kepada kongres-kongres yang dilaksanakan IVU sejak terbentuknya. Karya Kenji Miyazawa memainkan peranan penting dalam advokasi vegetarianisme modern.
Ajaran Budha bukanlah satu-satunya sumber yang berjasa dalam pertumbuhan vegetarianisme di Jepang. Di akhir abad 19, Dokter Gensai Ishizuka menerbitkan sebuah buku akademik tentang penyembuhan diet dimana ia menyarankan masakan vegetarian dengan tekanan pada beras coklat dan sayuran. Metodnya dikenal dengan Seisyoku (makrobiotik) dan didasarkan pada filosofi Cina kuno seperti prinsip Yin dan Yang serta Taoisme. Saat ini beberapa orang menjalankan metodenya dengan harapan mendapatkan manfaat kesehatan. Makrobiotik Jepang menyarankan untuk memakan beras coklat setengah dari seluruh masukan, dengan sayuran, kacang-kacangan, rumput laut, dan sedikit ikan.
Setelah Perang Dunia II, Jepang dipengaruhi oleh pemikiran nutrisi dari USA, dan pada tahun 1980-an, seperti USA, kita mengalami problem sosial yang serius yaitu tingginya tingkat penyakit geriatrik yang disebakan oleh kelebihan nutrisi. Makanan vegetarian Seventh Day Adventist, yang didukung oleh bukti-bukti ilmiah, mulai menarik perhatian dan masyarakat Jepang kemudian mengadopsi hidangan Adventist gaya US dan menciptakan makanan lacto-ovo-vegetarian gaya Jepang dimana nasi coklat dimakan sebagai tambahan untuk corn flakes dan susu.
Jadi ada tiga pengaruh vegetarian utama pada masakan Jepang: Budha, Seisyoku (makrobiotik) dan Adventist.
Masyarakat Jepang mulai memakan daging sekitar 130 tahun yang lalu dan sekarang mereka menderita penyakit-penyakit yang disebabkan oleh kelebihan masukan lemak dalam daging dan kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh zat-zat kimia agrikultural dan zat-zat tambahan. Hal ini memaksa mereka untuk mencari makanan yang aman dan natural dan mengadopsi sekali lagi makanan Jepang tradisional. Tahun 1993 Keluarga Vegetarian Jepang (NPO) dibentuk sebagai hasil dari kepedulian terhadap hak-hak binatang, isu lingkungan global, kelaparan di dunia ketiga, dan kesehatan manusia. Anggota keluarga vegetarian ini bersemangat menghadapi isu-isu ini dan bekerja keras baik di Jepang maupun secara global.
|

Tidak ada komentar: